Sabtu, 15 April 2017

SETEGUKAN “KOPI KEADILAN" RASA RAWLS

Siang ini saya baru saja sampai di kampus S1 Ilmu Hukum, jadwal mengajar di Program Magister Hukum Jam 14.00 WIB.  Sementara di luar ratusan mahasiswa S1 sedang sibuk Ujian Tengah Semester (UTS), sebagian lainnya tengah urus Kartu Rencana Ujian (KRU). 
Namun WA dari senior Prof Dr. Nandang Alamsyah Deliarnoor,SH,M.Hum., yang mengirimkan Sampul Buku John Rawls, membuat pikiran melayang untuk menuliskan barang setegukan saja. Yah seteguk saja Teori Keadilan Menurut Pemikir Modern ini. Lha di sela-sela membimbing Proposal Tesis Donny Putra, persetujuan Tesis Dimas Agung dan Herly Bastian, saya menuliskan pandangan Rawls tentang Keadilan.

Mengenal John Rawls

Prof. John Rawls, lebih dari sekedar akademisi. Ia seorang filosof politik kontemporer yang dikenal oleh kalangan akademisi dengan teorinya tentang keadilan. Robert Nozick rekan sekampus dan oponent penting Rawls menyebut teori Rawls tentang Keadilan dalam buku ‘A Theory of Justice’ sebagai karya ‘…yang tidak pernah terlihat lagi sejak karya-karya John Stuart Mill, atau sebelumnya’.[1]

John Rawls, dilahirkan di Baltimore, Maryland Amerika Selatan pada tanggal 21 Februari 1921. John Rawls, adalah putra dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel Stump.[2]
Selepas menyelesaikan studi pada Kent School tahun 1939, Rawls memperoleh gelar BA pada Princeton University tahun 1943 (dalam usia 22 tahun). Gelar Ph.D diselesaikan juga pada Princeton University pada tahun 1950 (dalam usia 29 tahun) dengan disertasi berjudul "A Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgments on the Moral Worth of Character.” [3]

Setelah memperoleh gelar Ph.D, Rawls sempat mengikuti program Fullbrigt Fellow di Oxford University pada 1952-1953. Karier akademiknya dimulai ketika Rawls menjadi instruktur pada Princeton University (1950-1952), lalu menjadi assisten dan assosiate professor pada Cornel University dimana ia kemudian menjadi full professor pada tahun 1962. Mulai tahun 1979 Rawls menjadi professor of philosophy pada Harvard University.[4]
Rawls menjadi sangat termasyur pada tiga dekade terakhir ini (1971-200-an) pada saat menerbitkan bukunya A Theory of Justice, pada tahun 1971. Buku setebal lebih dari 600 halaman ini mendapat sambutan luas, dibicarakan, didiskusikan diberbagai forum dan mimbar ilmiah.

Gagasan utama Rawls “Justice as Fairness” yang dituangkan dalam ‘A Theory of Justice’ sebenarnya telah diterbitkan dalam bentuk artikel tahun 1957[5] dan 1958 [6]. Gagasan Rawls tentang keadilan ini, pada tahun-tahun berikutnya kerapkali menjadi tema utama dari bahasan Rawls pada banyak artikel.

Menjadi pertanyaan kemudian mengapa teori Rawls tentang keadilan ini menjadi gagasan yang banyak dibaca orang, lalu mendapat pujian di samping juga kritik. Perkembangan masyarakat dunia di satu sisi dan kesadaran moralitas politik kaum elit politik dan intelektual disisi lain, pada awal hingga paruh pertama abad 20, sungguh mendasari munculnya gagasan Rawls.

Pada awal memasuki abad 20, dunia mengalami banyak kekacauan politik dan sosial, juga ketidakpastian yang dibawa oleh perkembangan IPTEK, kapitalisme, fasisme dan totaliterianisme, bangkitnya nasionalisme, dan perang dunia. Perkembangan ini membangkitkan semacam kesadaran perlunya pembaharuan komitmen terhadap moralitas politik. Pengalaman dari dua kali Perang Dunia mempertajam kembali perhatian terhadap posisi manusia sebagai makhluk moral didalam tata sosial dan tata politik. Namun sampai lebih separuh pertama abad ke- 20 filsafat politik tidak memperlihatkan perkembangan istimewa ikut terseret dan terperangkap dalam kontroversi ideologi Perang Dingin. Keadaan itu berubah setelah Rawls menerbitkan ‘A Theory of Justice’.[7]  

Setelah ‘A Theory of Justice’ diterbitkan, wacana filsafat politik mengalami perkembangan dan orientasi baru, bergerak meluas dari tema sentral keadilan sosial ke masalah hak, kebebasan, human subject, komunitas, dan teori moral sendiri. ‘A Theory of Justice’, Juga memperkaya tema-tema tradisional seperti masalah legitiminasi, kekuasaan, hakikat hukum dan lainnya.[8]

Rawls meninggal dalam usia 81 tahun pada tanggal 24 November 2002 dengan meninggalkan gagasan besarnya mengenai keadilan dalam dua buku yang merupakan masterpiece-nya yaitu: ‘A Theory of Justice’ (1971) dan ‘Political Liberalism’ yang terbit lebih dari dua puluh tahun kemudian setelahnya.[9] Sekali pun Rawls telah wafat gagasan Rawls terntang keadilan telah mampu menghidupkan kembali tradisi teori normatif dalam filsafat politik yang sempat tenggelam oleh dominasi aliran positivisme-logis yang menyingkirkan pendekatan normatif dalam filsafat dan sains.[10]

Racikan (Dasar) Teori Keadilan John Rawls
Teori Keadilan menurut John Rawls, dipandang sebagai teori keadilan paling komprehensif[11]. Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran Utilitarianisme. Teori keadilannya banyak sekali dipengaruhi pemikiran Jeremy Bentham, J.S.Mill, dan Hume, yang dikenal sebagai tokoh-tokoh Utilitarianisme. Sekalipun demikian, Rawls sendiri lebih sering dimasukkan dalam kelompok penganut Realisme Hukum. Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan terhadap stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada aturan-aturan. Di sinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila masyarakat itu sendiri mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.

Hukum, menurut pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain, sebagaimana diajarkan Utilitarianisme, karena hal itu tidaklah cukup. Menurut Rawls, hukum justru harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya. Rawls melihat, dalam kenyataannya, distribusi beban dan keuntungan sosial, seperti pekerjaan, kekayaan, sandang, pangan, papan, dan hak-hak asasi, ternyata belum dirasakan seimbang. Faktor-faktor seperti agama, ras, keturunan, kelas sosial, dan sebagainya, menghalangi tercapainya keadilan dalam distribusi itu. Rawls mengatakan, hal itu tidak lain karena struktur dasar masyarakat yang belum sehat. Untuk itu Rawls menganjurkan agar dilakukan reorganisasi (call for redress) sebagai syarat mutlak untuk menuju kepada suatu masyarakat ideal yang baru.[12]

Jika di bidang utama keadilan adalah struktur dasarnya masyarakat, problem utama keadilan, menurut Rawls, adalah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil. Prinsip-prinsip keadilan tersebut harus mendistribusikan prospek mendapatkan barang-barang pokok. Menurut Rawls, kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan. Jadi dalam kerangka dasar struktur masyarakat, kebutuhan-kebutuhan pokok (primary goods) terutama dapat dipandang sebagai sarana mengejar tujuan dan kondisi pemilihan yang kritis serta seksama atas tujuan dan rencana seseorang. Jika diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip -prinsip keadilan harus mengerjakan dua hal; yaitu:

  1. prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.
  2. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu

Rawls sendiri tidak menginginkan masyarakat seperti ini diwujudkan secara mendadak. Menurutnya, banyak orang memerlukan pendidikan sebelum mereka dapat menikmati kekayaan dan kebudayaan yang tersedia bagi manusia zaman sekarang. Di lain pihak, keyakinannya teguh bahwa hidup bermasyarakat harus diberikan suatu aturan baru, agar kekayaan dunia dibagi secara lebih merata. Menurut Huijbers,[13] dengan menegaskan bahwa pembagian kekayaan dunia kurang adil. Rawls tidak bermaksud menyatakan bahwa pembagian alamiah tidak adil, seperti perbedaan ras, agama, dan warna kulit. Situasilah menyebabkan pembagian itu tidak adil, sehingga dengan demikian, untuk menciptakan masyarakat yang adil perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk suatu masyarakat yang baik. 

Mensyaratkan Posisi Asali (The Original Position)

Karena masyarakat belum diatur dengan baik, orang-orang harus kembali kepada posisi asli mereka untuk menemukan prinsip-prinsip keadilan yang benar. Posisi asli (original position)  ini adalah keadaan di mana manusia berhadapan dengan manusia lain sebagai manusia.[14]
Posisi asli  yang dimaksud oleh Rawls ini bersifat hipotetis[15] sebagai abstraksi dari keyakinan etis masing-masing. Abstraksi ini juga harus dilandasi kejujuran. Dengan bertolak dari posisi asli inilah orang dapat sampai pada suatu persetujuan asli (original agrement) tentang prinsip-prinsip keadilan yang menyangkut pembagian hasil hidup bersama.
Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi aslinya, yakni: (1) diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi tertentu dikemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, rencana hidupnya, keadaan psikologisnya, tua atau muda, dan manakah situasi sosial, politik, ekonomi, budaya masyarakat di mana ia akan hidup. Justru karena abstraksi dari segala sifat individualnya orang mampu untuk sampai pada suatu pilihan tentang prinsip-prinsip keadilan. (2) Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih dengan semangat keadilan, yakni dengan kesediaan untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang telah dipilih. Sikap ini perlu oleh karena sasaran-sasaran individual yang dituju harus dibagi rata antara banyak orang, dan pasti tidak semua orang akan menerima apa yang mereka inginkan. Sikap ini sebenarnya bertepatan dengan sikap rasional yang dapat diharapkan dari seorang yang bijaksana. Seorang bijaksana. Seorang bijaksana akan mengerti bahwa semua orang sungguh-sungguh berusaha memperhatikan kepentingan bersama secara dewasa. Ia tidak akan merasa iri hati terhadap orang lain, sekurang-kurangnya tidak selama perbedaan antara dia dan orang lain tidak melampui batas-batas tertentu. Dan (3) Diandaikan bahwa tiap-tiap orang pertama-tama mengejar kepentingan individualnya dan baru kemudian kepentingan umum. Hal ini wajar oleh karena orang ingin berkembang secara pribadi dan ingin memperhatikan kepentingan orang-orang yang dekat, yakni anak cucu. Seandainya seorang tidak peduli mengenai diri sendiri, pasti akan dicari keuntungan pertama-tama bagi sanak saudaranya. Dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan kecenderungan manusia ini harus diperhitungkan juga.[16]

Prinsip Keadilan Menurut Rawls

Rawls mengakui bahwa kecenderungan manusia untuk mementingkan diri sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsip-prinsip keadilan itu. Apabila dapat menempatkan diri pada posisi asli itu, manusia akan sampai pada dua prinsip keadilan yang paling mendasar sebagai berikut:[17]
1.       prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty). Menurut prinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat. Prinsip ini tidak menghalangi orang untuk mencari keuntungan pribadi asalkan kegiatan itu tetap menguntungkan semua pihak. Huijbers memberi contoh, apabila dengan kegiatan pribadi saya dapat memperoleh keuntungan 100, dan jumlah itu, teman saya mendapat 20, sedangkan saya 80, maka hal itu tetap dianggap adil. Lebih baik kita semua mendapat untung daripada tidak ada untung sama sekali. Priyono menyebut beberapa prinsip kebebasan dalam hal ini adalah kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan); kebebasan berbicara (termasuk kebebasan pers); kebebasan menjadi diri sendiri (person); hak untuk mempertahankan milik pribadi.
2.      Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikan rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan peluang (the principle of fair equalty of opportunity).
Secara keseluruhan, berarti ada tiga prinsip keadilan yang dikemukakan oleh Rawls, yaitu prinsip: (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, dan (3) persamaan yang adil atas kesempatan. Tentu saja, tidak semua prinsip-prinsip keadilan ini dapat diwujudkan bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu berbenturan dengan prinsip yang lainnya. Untuk itu Rawls memberikan prioritas. Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya secara klasikal berlaku lebih dulu daripada prinsip kedua dan ketiga. Hanya setelah kebebasan diagungkan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip berikutnya. Selanjutnya, prioritas kedua merupakan relasi antara dua bagian prinsip keadilan yang kedua (yaitu antara prinsip) menurut Rawls, prinsip persamaan yang adil atas kesempatan secara leksikal berlaku lebih dulu daripada prinsip perbedaan.[18] Huijbers mencatat bahwa perbedaan antara teori Utilitarianisme dengan teori Posisi asli dari Rawls ini cukup mencolok. Utilitarianisme membawa kearah suatu maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utlity, dihitung perkapita), sedangkan teori Posisi Asli membawa ke arah suatu maksimum penggunaan barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang. 

Pengaruh Teori Keadilan Rawls Bagi Pemikiran Politik Kontemporer

           Mengenai besarnya pengaruh Rawls, khususnya pengaruh ‘A Theory of Justice’, dapat dijumpai dihampir semua buku mengenai filsafat politik kontemporer. Utamanya ketika membahas keadilan dan yang terbit sejak akhir tahun 1970-an. Rekan Rawls,  Robert Nozick dalam bukunya ‘Anarchy, State and Utopia’, yang terbit tahun 1974 memuji buku A Theory of Justice’nya Rawls sebagai sumber mata air ide-ide. Lebih lengkap Nozick memuji dengan kalimat[19]:
“A Theory of Justice adalah sebuah karya filsafat politik dan filsafat moral yang kuat, dalam, subtil, luas, sistematik, yang tidak pernah lagi terlihat sejak karya-karya John Stuart Mill, atau sebelumnya. Buku ini merupakan taman mata air ide-ide, terintegrasi bersama dalam satu kesatuan yang bagus. Para pemikir filsafat politik sekarang harus bekerja dari dalam teori Rawls, atau harus menjelaskan mengapa tidak. Pemikiran-pemikiran dan sanggahan-sanggahan yang sudah kita kembangkan diterangi oleh atau membantu menerangi presentasi konsepsi alternatif adikarya Rawls. Bahkan, mereka yang belum jugaberhasil diyakinkan setelah bergulat dengan visi sistematik Rawls akan belajar banyak dari membacanya … Adalah mustahil membaca karya Rawls tanpa banyak terkawinkan, mungkin terubahkan, ke dalam pandangan kita sendiri yang diperdalam. Adalah mustahil menyelesaikan bukunya tanpa suatu visi baru dan terinspirasi oleh apa yang teori moral boleh lakukan dan himpun; betapa keseluruhan teori begitu indah. Saya mengizinkan diri sendiri berkonsentrasi di sini untuk tidak setuju dengan Rawls semata-mata karena saya yakin para pembaca saya akan menemukan sendiri banyak keutamaan di dalamnya.”
Pengaruh pandangan deontologis[20] Rawls secara langsung maupun tidak langsung telah terserap masuk pula ke beberapa disiplin lain. Psikologi Lawrence Kohlberg secara eksplisit telah menggunakan kerangka universalisme Rawls sebagai dasar untuk menyusun teori perkembangan moral lintas budaya. Teori Rawls juga telah memberikan semacam basis normatif bagi wacana-wacana baru ekonomi dan sosial yang mempertimbangkan keadilan, demokrasi, bahkan peran positif negara. Dalam wacana ekonomi, Amitai Etzioni, meski tidak sepenuhnya mengambil tempat di belakang Rawls, telah menggunakan apa yang disebutnya sebagai “paradigma deontologis” untuk menghadapi dominasi paham neoklasik yang tidak memberi ruang bagi dimensi moral dan selamanya memandang negatif peran negara.

Demikian juga dengan Amartya Sen, seorang penerima hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi, sejalan dengan semangat deontologi Rawls yang meletakkan prioritas kemerdekaan (the priority of liberty), menekankan keberhasilan pembangunan ekonomi bukan hanya terkait dengan meningkatnya kemakmuran dan menyusutnya kemiskinan, melainkan terutama dengan meningkatnya kebebasan. Semangat Rawlsian bahkan telah meresapi program-program partai-partai sosial demokrat Eropa pasca perang khususnya berkenaan dengan masalah distribusi kesejahteraan dan pendapatan. Lebih dari sekadar pengaruh teoretis, filsafat politik akademik Rawls rupanya menawarkan nilai praktisnya juga.

Sebenarnya Rawls telah menyiapkan ‘A Theory of Justice’nya jauh sebelum tahun 1971[21]. Bahkan sejak tahun 1950-an[22] melalui artikel-artikelnya yang bereaksi, baik terhadap hegemoni aliran positivisme-logis dalam filsafat pada umumnya, maupun terhadap utilitarianisme dalam filsafat politik. Aliran positivisme-logis yang dominan sejak akhir Perang Dunia II berhasil meyakinkan publik bahwa hanya ada dua hal yang penting dalam dunia modern, yakni riset empiris dan analisis konseptual. Sains menjalankan tugas yang pertama, sedangkan filsafat yang kedua. Akibatnya, filsafat moral dan politik menjadi sekedar analisis konsep-konsep moral dan politis, dan bagaimana bahasa mengekspresikan konsep-konsep tersebut. Aspek analitis ditekankan, sementara aspek normatif dan preskriptif dikesampingkan.

Tema-tema pokok filsafat politik seperti keadilan sosial, kebebasan berpendapat, persamaan derajat manusia dan pluralisme agama tidak dihargai lagi sebagai wacana dalam filsafat. Dominasi positivisme-logis mengakibatkan filsafat politik dianggap wacana yang kurang penting dibandingkan logika dan epistemologi. Tidak mengherankan bahwa pada tahun 1950-an banyak ahli filsafat mengeluhkan bahwa filsafat politik telah mati.[23]

Melawan kecenderungan dominasi positivisme-logis  ini Rawls[24] menekankan kembali pentingnya pertanyaan normatif yang mendasar seperti: apa syarat-syarat untuk mewujudkan masyarakat yang adil?  Dia menghidupkan kembali tradisi teori besar dalam filsafat politik untuk memberi justifikasi terhadap keyakinan etis secara rasional. Dalam hal ini dia menggunakan metode justifikasi yang diasosiasikan dengan Sokrates, Aristoteles dan Sidgwick. Dia mengatakan bahwa pada saat kita menjelaskan keyakinan etis kita, kita berusaha mengidentifikasikannya dengan keyakinan yang paling mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan (Misalnya keyakinan bahwa perbudakan itu salah). Kemudian kita menguji keyakinan tersebut dengan menggunakan teori-teori etika yang kita kenal dan mencari kerunutan dan kecocokan dalam pertimbangan kita secara keseluruhan. Pertimbangan ini kadang-kadang bisa menghasilkan suatu teori yang meyakinkan. Sebaliknya, teori-teori sering kali harus diperbaharui atau ditolak sejalan dengan tingkat kegagalan mereka menyesuaikan diri dengan pertimbangan tersebut.

Menurut Antonius Widyarsono[25], Rawls yakin bahwa karyanya hanya menghasilkan salah satu dari teori-teori yang dibuat dengan proses seperti di atas itu. Tapi dia juga yakin bahwa teorinya lebih unggul daripada teori-teori lain yang sudah kadaluwarsa. Dalam hal ini dia terutama mengacu pada aliran yang dominan dalam filsafat politik liberal pada saat itu, yakni utilitarianisme. Utilitarianisme merupakan teori politis dalam liberalisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill pada abad ke-19. Prinsip utama dalam utilitarianisme adalah memaksimalkan kebaikan/kebahagiaan yang paling besar bagi sebanyak mungkin orang. Dalam politik hal ini berarti memaksimalkan kesekahteraan umum, kalau perlu dengan mengorbankan kebebsan individu. Menurut Rawls, utilitarianisme telah gagal memberi tempat pada keyakinan umum bahwa setiap individu harus dihargai dan tidak boleh dilanggar hak-hak asasinya demi kepentingan yang lebih besar, termasuk demi kepentingan umum (Misalnya, utilitarianisme melarang perbudakan bukan karena tidak adil, tapi hanya karena tidak efisien).

Berlawanan dengan utilitarianisme Rawls mengembangkan teori keadilannya dari ide bahwa hak-hak asasi individu tidak boleh dilanggar dengan alasan apapun. Untuk itu dia menggunakan tradisi teori kontrak sosial-Hobbes, Locke, Rousseau dan Kant- sebagai dasar argumentasi bagi prinsip-prinsip dasar teori keadilan. Dalam dua prinsip dasar keadilannya Rawls berusaha mengintegrasikan kritisisme sosialis kaum Marxis (prinsip kesamaan) kedalam teori liberal (prinsip kebebasan). Itulah sebabnya karya utama Rawls menjadi karya yang banyak didiskusikan baik oleh kaum liberal, maupun kaum Marxis. Menurut Kimlicka, “Teorinya mendominasi debat-debat kontemporer, bukan karena setiap orang menerimanya, tapi karena pandangan-pandangan alternatif sering kali diungkapkan sebagai reaksi terhadap teorinya itu”. (Kimlicka 2002: 10).[26]

Karena Rawls menggunakan tradisi teori kontrak sosial-Hobbes, Locke, Rousseau dan Kant- sebagai dasar argumentasi bagi prinsip-prinsip dasar teori keadilannya. Beberapa penulis memberikan sebutan yang beragam mengenai aliran filsafat (teori) yang dianut Rawls. Beberapa artikel dalam buku ‘A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory’[27], misalnya Jeremy Waldron, professor University of California at Berkeley, menyebut John Rawls sebagai exponent modern Rousseauian approach.[28] Alexander Somek dari University of Viena menyebut ahli yang mengenalkan ‘contractarian teories of justice.’[29] Dan George P Fletcher, professor of Jurisfrudence at Columbia University School of Law, New York, menyebut Rawls teori keadilan sebagai ‘the version of the Kantian Theory’.[30]
Sruputan Penutup

Tulisan sepeminuman kopi menjelang siang hari sembari menunggu perkuliahan ini, saya tutup dengan beberapa catatan akhir:
Pertama, “teori keadilan John Rawls merupakan teori sosial politik kontemporer yang menjelaskan prinsip-prinsip keadilan yang relatif paling lengkap dibanding dengan beberapa teori keadilan lainnya.
Kedua, Teori keadilan Rawls sangat penting untuk menjelaskan bagaimana masyarakat yang terkait politik yang modern dan demokratis dewasa ini.
Ketiga, dalam konteks pembentukan hukum di Indonesia, baik melalui pembentukan peraturan Perundang-undangan maupun Putusan Hakim di Indonesia, teori Ralws tentang keadilan penting karena dua hal: (a) prosedur pencapaian atau pencarian konsensus yang menempatkan individu sama peluangnya dan (b) mengakui ada ketimpangan dalam masyarakat yang harus mendapat prioritas perhatian dalam Pembentukan Hukum.
Keempat, pelajaran berharga dari teori Ralws adalah, pembentuk hukum, baik melalui Hakim maupun Pembentuk undang-undang harus memberikan perlindungan yang memadai bagi masyarakat minoritas yang mempunyai akses yang kecil terhadap sumber-sumber daya dalam masyarakat. Masyarakat minoritas, masyarakat miskin, atau  kelompok kepentingan yang lemah harus diperhatikan dan menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan putusan pada saat pembentukan hukum. Tanpa itu semua esensi Hukum untuk Manusia, Fungsi hukum untuk Ketentraman Bersama dan tujuan Hukum Keadilan Bagi Semua (Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, Social Justice)

Padang, 15 April 2017








[1] Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 25
[2] www.bookrags.com/biography/john-rawls
[3] http://sun3.lib.uci.edu/~scctr/philosophy/rawls.html
[4] www.bookrags.com/biography/john-rawls
[5] "Justice as Fairness." Journal of Philosophy (October 24, 1957), 54(22):653-662, lihat http://sun3.lib.uci.edu/~scctr/philosophy/ rawls.html
[6] "Justice as Fairness." Philosophical Review (April 1958), 67(2):164-194 dalam: http://sun3.lib.uci.edu/~scctr/philosophy/rawls.html
[7] Bur Rasuanto, Op. Cit., hlm 25.
[8] Bur Rasuanto, Op. Cit., hlm 26.     
[9] Political Liberalism. The John Dewey Essays in Philosophy, 4. New York: Columbia University Press, 1993.
[10]   Antonius Widyarsono, Memprioritaskan Op. Cit.,Hak di Atas Konsep Keabikan dalam Pemikiran Rawls Yang Kemudian, dalam Jurnal Pemikiran Sosial Politik, Demokrasi dan Hak Asas Manusia Jurnal DIPONEGORO74, (Tahun VIII/2000 No. 11 Februari-Mei 2004), hlm. 43.
[11] Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, ibid.
[12] Theo Huijbers, op. cit. hlm.195.
[13] Theo Huijbers, op. cit. hlm.  195.
[14] Ibid, hlm. 197.
[15] Rawls, A Theory of Justice, op. cit.,  hlm. 21 memberi penekanan dengan kalimat “I  have amphasized that this original position is purely hypothetical.”
[16] Theo Huijbers, op. cit.,  hlm. 198;  Dalam Rawls dapat dibaca pada angka 24. The Veil of Ignorance, hlm. 136-142 dan angka 25. The Rationality of The Parties, hlm. 142-150, lihat  Rawls, A Theory of Justice, op. cit. Juga dalam Theo Huijbers, op,cit, hlm 190.
[17] Theo Huijbers, Ibid, hlm. 200; Prijono, op. cit. hlm. 38.
[18] Prijono, ibid, hlm 40; juga Theo Huijbers, ibid, hlm 201.
[19] Bur Rasuanto, Keadilan Sosial….Op. Cit.,  hlm. 27. 
[20] Ibid, hlm. 28.
[21] Ketika pertama kali buku ini diterbitkan oleh Cambridge, Massachusetss: Belknap Press of Harvard University Press. Kemudian pada tahun 1972 diterbitkan oleh Oxford: Larendon Press, 1972.
[22] Misalnya ketika Rawls menulis ‘Justice as Fairness’  dalam Journal of Philosophy (October 24, 1957) kemudian dalam Philosophical Review  (April 1958). Lihat dalam A Selected Bibliography Compiled by Eddie Yeghiayan, sumber:  http://sun3.lib.uci.edu/scctr/philosophy/rawls.html.
[23] Pada pertengahan tahun enanm puluhan bahkan Isaiah Berlin secara retorik menyetakan mengenai ‘matinya teori politik’ sebagai perlawanan simbolik terhadap dominasi positivisme dalam filsafat politik. Selanjutnta Berlin memproklamirkan peralihan politik normatif. Dan peralihan normatif ini menemukan puncaknya pada tahun 1971 dengan diterbitkannya A Theory of Justice oleh John Rawls, lihat dalam Robertus Robet, Argumen dan Krtitik: Demokrasi Deliberatif Habermas, dalam Jurnal Pemikiran Sosial Politik, Demokrasi dan Hak Asas Manusia Jurnal DIPONEGORO74, (Tahun VIII/2000 No. 11 Februari-Mei 2004), hlm. 72.
[24] Antonius Widyarsono, Memprioritaskan …. Op. Cit., hlm. 44.
[25] Ibid, hlm. 45.
[26] Ibid
[27] Dennis Patterson (editor), A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory, (Blackwell Publishing, 2003).   
[28] Ibid,  hlm. 19.
[29] Ibid., hlm. 352.
[30] Ibid., hlm. 527. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar