Siang ini saya baru
saja sampai di kampus S1 Ilmu Hukum, jadwal mengajar di Program Magister Hukum Jam
14.00 WIB. Sementara di luar ratusan
mahasiswa S1 sedang sibuk Ujian Tengah Semester (UTS), sebagian lainnya tengah
urus Kartu Rencana Ujian (KRU).
Namun WA dari senior Prof Dr. Nandang Alamsyah
Deliarnoor,SH,M.Hum., yang mengirimkan Sampul Buku John Rawls, membuat pikiran
melayang untuk menuliskan barang setegukan saja. Yah seteguk saja Teori Keadilan
Menurut Pemikir Modern ini. Lha di sela-sela membimbing Proposal Tesis Donny Putra, persetujuan Tesis Dimas Agung dan Herly Bastian, saya menuliskan pandangan Rawls tentang Keadilan.
Mengenal John Rawls
Prof. John Rawls, lebih dari sekedar
akademisi. Ia seorang filosof politik kontemporer yang dikenal oleh kalangan
akademisi dengan teorinya tentang keadilan. Robert Nozick rekan sekampus dan oponent penting Rawls menyebut teori
Rawls tentang Keadilan dalam buku ‘A Theory of Justice’ sebagai karya ‘…yang
tidak pernah terlihat lagi sejak karya-karya John Stuart Mill, atau
sebelumnya’.[1]
John Rawls, dilahirkan di Baltimore,
Maryland Amerika Selatan pada tanggal 21 Februari 1921. John Rawls, adalah
putra dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel Stump.[2]
Selepas menyelesaikan studi pada Kent
School tahun 1939, Rawls memperoleh gelar BA pada Princeton University tahun
1943 (dalam usia 22 tahun). Gelar Ph.D diselesaikan juga pada Princeton
University pada tahun 1950 (dalam usia 29 tahun) dengan disertasi berjudul
"A Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference to
Judgments on the Moral Worth of Character.” [3]
Setelah memperoleh gelar Ph.D, Rawls sempat mengikuti program Fullbrigt Fellow di Oxford University pada 1952-1953. Karier akademiknya dimulai ketika Rawls menjadi instruktur pada Princeton University (1950-1952), lalu menjadi assisten dan assosiate professor pada Cornel University dimana ia kemudian menjadi full professor pada tahun 1962. Mulai tahun 1979 Rawls menjadi professor of philosophy pada Harvard University.[4]
Rawls menjadi sangat termasyur pada tiga
dekade terakhir ini (1971-200-an) pada saat menerbitkan bukunya A Theory of Justice, pada tahun 1971.
Buku setebal lebih dari 600 halaman ini mendapat sambutan luas, dibicarakan,
didiskusikan diberbagai forum dan mimbar ilmiah.
Gagasan utama Rawls “Justice as Fairness” yang dituangkan dalam ‘A Theory of Justice’ sebenarnya telah diterbitkan dalam bentuk artikel tahun 1957[5] dan 1958 [6]. Gagasan Rawls tentang keadilan ini, pada tahun-tahun berikutnya kerapkali menjadi tema utama dari bahasan Rawls pada banyak artikel.
Menjadi pertanyaan kemudian mengapa teori Rawls tentang keadilan ini menjadi gagasan yang banyak dibaca orang, lalu mendapat pujian di samping juga kritik. Perkembangan masyarakat dunia di satu sisi dan kesadaran moralitas politik kaum elit politik dan intelektual disisi lain, pada awal hingga paruh pertama abad 20, sungguh mendasari munculnya gagasan Rawls.
Pada awal memasuki abad 20, dunia mengalami banyak kekacauan politik dan sosial, juga ketidakpastian yang dibawa oleh perkembangan IPTEK, kapitalisme, fasisme dan totaliterianisme, bangkitnya nasionalisme, dan perang dunia. Perkembangan ini membangkitkan semacam kesadaran perlunya pembaharuan komitmen terhadap moralitas politik. Pengalaman dari dua kali Perang Dunia mempertajam kembali perhatian terhadap posisi manusia sebagai makhluk moral didalam tata sosial dan tata politik. Namun sampai lebih separuh pertama abad ke- 20 filsafat politik tidak memperlihatkan perkembangan istimewa ikut terseret dan terperangkap dalam kontroversi ideologi Perang Dingin. Keadaan itu berubah setelah Rawls menerbitkan ‘A Theory of Justice’.[7]
Setelah ‘A Theory of Justice’ diterbitkan, wacana filsafat politik mengalami perkembangan dan orientasi baru, bergerak meluas dari tema sentral keadilan sosial ke masalah hak, kebebasan, human subject, komunitas, dan teori moral sendiri. ‘A Theory of Justice’, Juga memperkaya tema-tema tradisional seperti masalah legitiminasi, kekuasaan, hakikat hukum dan lainnya.[8]
Rawls meninggal dalam usia 81 tahun pada tanggal 24 November 2002 dengan meninggalkan gagasan besarnya mengenai keadilan dalam dua buku yang merupakan masterpiece-nya yaitu: ‘A Theory of Justice’ (1971) dan ‘Political Liberalism’ yang terbit lebih dari dua puluh tahun kemudian setelahnya.[9] Sekali pun Rawls telah wafat gagasan Rawls terntang keadilan telah mampu menghidupkan kembali tradisi teori normatif dalam filsafat politik yang sempat tenggelam oleh dominasi aliran positivisme-logis yang menyingkirkan pendekatan normatif dalam filsafat dan sains.[10]
Racikan
(Dasar) Teori Keadilan John Rawls
Teori
Keadilan menurut
John Rawls, dipandang sebagai teori keadilan paling komprehensif[11].
Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran Utilitarianisme.
Teori keadilannya banyak sekali dipengaruhi pemikiran Jeremy Bentham, J.S.Mill,
dan Hume, yang dikenal sebagai tokoh-tokoh Utilitarianisme. Sekalipun demikian,
Rawls sendiri lebih sering dimasukkan dalam kelompok penganut Realisme Hukum. Rawls berpendapat perlu ada
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana
ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan
keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya
dengan keadilanlah ada jaminan terhadap stabilitas hidup manusia. Agar tidak
terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada
aturan-aturan. Di sinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada masyarakat
yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila masyarakat itu sendiri mampu
meletakkan prinsip-prinsip keadilan.
Hukum, menurut pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain, sebagaimana diajarkan Utilitarianisme, karena hal itu tidaklah cukup. Menurut Rawls, hukum justru harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya. Rawls melihat, dalam kenyataannya, distribusi beban dan keuntungan sosial, seperti pekerjaan, kekayaan, sandang, pangan, papan, dan hak-hak asasi, ternyata belum dirasakan seimbang. Faktor-faktor seperti agama, ras, keturunan, kelas sosial, dan sebagainya, menghalangi tercapainya keadilan dalam distribusi itu. Rawls mengatakan, hal itu tidak lain karena struktur dasar masyarakat yang belum sehat. Untuk itu Rawls menganjurkan agar dilakukan reorganisasi (call for redress) sebagai syarat mutlak untuk menuju kepada suatu masyarakat ideal yang baru.[12]
Jika di bidang utama keadilan adalah struktur dasarnya masyarakat, problem utama keadilan, menurut Rawls, adalah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil. Prinsip-prinsip keadilan tersebut harus mendistribusikan prospek mendapatkan barang-barang pokok. Menurut Rawls, kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan. Jadi dalam kerangka dasar struktur masyarakat, kebutuhan-kebutuhan pokok (primary goods) terutama dapat dipandang sebagai sarana mengejar tujuan dan kondisi pemilihan yang kritis serta seksama atas tujuan dan rencana seseorang. Jika diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip -prinsip keadilan harus mengerjakan dua hal; yaitu:
- prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil
tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.
- Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam mengembangkan
kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam
struktur dasar masyarakat tertentu
Rawls sendiri tidak menginginkan masyarakat seperti ini diwujudkan secara mendadak.
Menurutnya, banyak orang memerlukan pendidikan sebelum mereka dapat menikmati
kekayaan dan kebudayaan yang tersedia bagi manusia zaman sekarang. Di lain
pihak, keyakinannya teguh bahwa hidup bermasyarakat harus diberikan suatu
aturan baru, agar kekayaan dunia dibagi secara lebih merata. Menurut Huijbers,[13]
dengan menegaskan bahwa pembagian kekayaan dunia kurang adil. Rawls tidak
bermaksud menyatakan bahwa pembagian alamiah tidak adil, seperti perbedaan ras,
agama, dan warna kulit. Situasilah menyebabkan pembagian itu tidak adil,
sehingga dengan demikian, untuk menciptakan masyarakat yang adil perlu
diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk
membentuk suatu masyarakat yang baik.
Mensyaratkan Posisi Asali (The Original Position)
Karena masyarakat belum diatur dengan baik, orang-orang harus kembali
kepada posisi asli mereka untuk menemukan prinsip-prinsip keadilan yang benar.
Posisi asli (original position) ini adalah keadaan di mana manusia berhadapan
dengan manusia lain sebagai manusia.[14]
Posisi asli yang dimaksud oleh
Rawls ini bersifat hipotetis[15]
sebagai abstraksi dari keyakinan etis masing-masing. Abstraksi ini juga harus
dilandasi kejujuran. Dengan bertolak dari posisi asli inilah orang dapat sampai
pada suatu persetujuan asli (original
agrement) tentang prinsip-prinsip keadilan yang menyangkut pembagian hasil
hidup bersama.
Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi aslinya, yakni:
(1) diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang
pribadi tertentu dikemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya,
intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, rencana hidupnya, keadaan
psikologisnya, tua atau muda, dan manakah situasi sosial, politik, ekonomi,
budaya masyarakat di mana ia akan hidup. Justru karena abstraksi dari segala
sifat individualnya orang mampu untuk sampai pada suatu pilihan tentang
prinsip-prinsip keadilan. (2) Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih
dengan semangat keadilan, yakni dengan kesediaan untuk tetap berpegang pada
prinsip-prinsip yang telah dipilih. Sikap ini perlu oleh karena sasaran-sasaran
individual yang dituju harus dibagi rata antara banyak orang, dan pasti tidak
semua orang akan menerima apa yang mereka inginkan. Sikap ini sebenarnya
bertepatan dengan sikap rasional yang dapat diharapkan dari seorang yang
bijaksana. Seorang bijaksana. Seorang bijaksana akan mengerti bahwa semua orang
sungguh-sungguh berusaha memperhatikan kepentingan bersama secara dewasa. Ia
tidak akan merasa iri hati terhadap orang lain, sekurang-kurangnya tidak selama
perbedaan antara dia dan orang lain tidak melampui batas-batas tertentu. Dan
(3) Diandaikan bahwa tiap-tiap orang pertama-tama mengejar kepentingan
individualnya dan baru kemudian kepentingan umum. Hal ini wajar oleh karena
orang ingin berkembang secara pribadi dan ingin memperhatikan kepentingan
orang-orang yang dekat, yakni anak cucu. Seandainya seorang tidak peduli
mengenai diri sendiri, pasti akan dicari keuntungan pertama-tama bagi sanak
saudaranya. Dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan kecenderungan manusia ini
harus diperhitungkan juga.[16]
Prinsip Keadilan Menurut Rawls
Rawls mengakui bahwa kecenderungan manusia untuk mementingkan diri
sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsip-prinsip keadilan itu.
Apabila dapat menempatkan diri pada posisi asli itu, manusia akan sampai pada
dua prinsip keadilan yang paling mendasar sebagai berikut:[17]
1. prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty). Menurut prinsip ini setiap
orang mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat. Prinsip ini
tidak menghalangi orang untuk mencari keuntungan pribadi asalkan kegiatan itu
tetap menguntungkan semua pihak. Huijbers memberi contoh, apabila dengan
kegiatan pribadi saya dapat memperoleh keuntungan 100, dan jumlah itu, teman
saya mendapat 20, sedangkan saya 80, maka hal itu tetap dianggap adil. Lebih
baik kita semua mendapat untung daripada tidak ada untung sama sekali. Priyono
menyebut beberapa prinsip kebebasan dalam hal ini adalah kebebasan untuk
berperan serta dalam kehidupan politik (hak bersuara, hak mencalonkan diri
dalam pemilihan); kebebasan berbicara (termasuk kebebasan pers); kebebasan
menjadi diri sendiri (person); hak untuk mempertahankan milik pribadi.
2. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial
ekonomi) harus diberikan aturan sedemikan rupa sehingga paling menguntungkan
golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk
mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas). Rumusan prinsip
kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu prinsip
perbedaan (difference principle) dan
prinsip persamaan yang adil atas kesempatan peluang (the principle of fair equalty of opportunity).
Secara keseluruhan, berarti ada tiga prinsip
keadilan yang dikemukakan oleh Rawls, yaitu prinsip: (1) kebebasan yang sama
yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, dan (3) persamaan yang adil atas
kesempatan. Tentu saja, tidak semua prinsip-prinsip keadilan ini dapat
diwujudkan bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu berbenturan
dengan prinsip yang lainnya. Untuk itu Rawls memberikan prioritas. Prioritas
pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya secara
klasikal berlaku lebih dulu daripada prinsip kedua dan ketiga. Hanya setelah
kebebasan diagungkan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha
mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip berikutnya. Selanjutnya,
prioritas kedua merupakan relasi antara dua bagian prinsip keadilan yang kedua
(yaitu antara prinsip) menurut Rawls, prinsip persamaan yang adil atas
kesempatan secara leksikal berlaku lebih dulu daripada prinsip perbedaan.[18]
Huijbers mencatat bahwa perbedaan antara teori Utilitarianisme dengan teori
Posisi asli dari Rawls ini cukup mencolok. Utilitarianisme membawa kearah suatu
maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utlity, dihitung perkapita), sedangkan teori Posisi Asli
membawa ke arah suatu maksimum penggunaan barang secara merata dengan tetap
memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang.
Pengaruh
Teori Keadilan Rawls Bagi Pemikiran Politik Kontemporer
Mengenai besarnya pengaruh Rawls, khususnya pengaruh ‘A Theory of Justice’, dapat dijumpai
dihampir semua buku mengenai filsafat politik kontemporer. Utamanya ketika
membahas keadilan dan yang terbit sejak akhir tahun 1970-an. Rekan Rawls, Robert Nozick dalam bukunya ‘Anarchy, State and Utopia’, yang terbit
tahun 1974 memuji buku A Theory of Justice’nya Rawls sebagai sumber mata air ide-ide.
Lebih lengkap Nozick memuji dengan kalimat[19]:
“A Theory of Justice adalah sebuah karya filsafat politik dan filsafat moral yang kuat, dalam, subtil, luas, sistematik, yang tidak pernah lagi terlihat sejak karya-karya John Stuart Mill, atau sebelumnya. Buku ini merupakan taman mata air ide-ide, terintegrasi bersama dalam satu kesatuan yang bagus. Para pemikir filsafat politik sekarang harus bekerja dari dalam teori Rawls, atau harus menjelaskan mengapa tidak. Pemikiran-pemikiran dan sanggahan-sanggahan yang sudah kita kembangkan diterangi oleh atau membantu menerangi presentasi konsepsi alternatif adikarya Rawls. Bahkan, mereka yang belum jugaberhasil diyakinkan setelah bergulat dengan visi sistematik Rawls akan belajar banyak dari membacanya … Adalah mustahil membaca karya Rawls tanpa banyak terkawinkan, mungkin terubahkan, ke dalam pandangan kita sendiri yang diperdalam. Adalah mustahil menyelesaikan bukunya tanpa suatu visi baru dan terinspirasi oleh apa yang teori moral boleh lakukan dan himpun; betapa keseluruhan teori begitu indah. Saya mengizinkan diri sendiri berkonsentrasi di sini untuk tidak setuju dengan Rawls semata-mata karena saya yakin para pembaca saya akan menemukan sendiri banyak keutamaan di dalamnya.”
Pengaruh pandangan deontologis[20]
Rawls secara langsung maupun tidak langsung telah terserap masuk pula ke
beberapa disiplin lain. Psikologi Lawrence Kohlberg secara eksplisit telah
menggunakan kerangka universalisme Rawls sebagai dasar untuk menyusun teori
perkembangan moral lintas budaya. Teori Rawls juga telah memberikan semacam basis
normatif bagi wacana-wacana baru ekonomi dan sosial yang mempertimbangkan
keadilan, demokrasi, bahkan peran positif negara. Dalam wacana ekonomi, Amitai
Etzioni, meski tidak sepenuhnya mengambil tempat di belakang Rawls, telah
menggunakan apa yang disebutnya sebagai “paradigma deontologis” untuk
menghadapi dominasi paham neoklasik yang tidak memberi ruang bagi dimensi moral
dan selamanya memandang negatif peran negara.
Demikian juga dengan Amartya Sen, seorang
penerima hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi, sejalan dengan semangat deontologi
Rawls yang meletakkan prioritas kemerdekaan (the priority of liberty), menekankan keberhasilan pembangunan
ekonomi bukan hanya terkait dengan meningkatnya kemakmuran dan menyusutnya
kemiskinan, melainkan terutama dengan meningkatnya kebebasan. Semangat Rawlsian
bahkan telah meresapi program-program partai-partai sosial demokrat Eropa pasca
perang khususnya berkenaan dengan masalah distribusi kesejahteraan dan
pendapatan. Lebih dari sekadar pengaruh teoretis, filsafat politik akademik
Rawls rupanya menawarkan nilai praktisnya juga.
Sebenarnya Rawls telah menyiapkan ‘A Theory of Justice’nya jauh sebelum
tahun 1971[21].
Bahkan sejak tahun 1950-an[22]
melalui artikel-artikelnya yang bereaksi, baik terhadap hegemoni aliran
positivisme-logis dalam filsafat pada umumnya, maupun terhadap utilitarianisme
dalam filsafat politik. Aliran positivisme-logis yang dominan sejak akhir
Perang Dunia II berhasil meyakinkan publik bahwa hanya ada dua hal yang penting
dalam dunia modern, yakni riset empiris dan analisis konseptual. Sains
menjalankan tugas yang pertama, sedangkan filsafat yang kedua. Akibatnya,
filsafat moral dan politik menjadi sekedar analisis konsep-konsep moral dan
politis, dan bagaimana bahasa mengekspresikan konsep-konsep tersebut. Aspek
analitis ditekankan, sementara aspek normatif dan preskriptif dikesampingkan.
Tema-tema pokok filsafat politik seperti
keadilan sosial, kebebasan berpendapat, persamaan derajat manusia dan
pluralisme agama tidak dihargai lagi sebagai wacana dalam filsafat. Dominasi
positivisme-logis mengakibatkan filsafat politik dianggap wacana yang kurang
penting dibandingkan logika dan epistemologi. Tidak mengherankan bahwa pada
tahun 1950-an banyak ahli filsafat mengeluhkan bahwa filsafat politik telah
mati.[23]
Melawan kecenderungan dominasi
positivisme-logis ini Rawls[24]
menekankan kembali pentingnya pertanyaan normatif yang mendasar seperti: apa
syarat-syarat untuk mewujudkan masyarakat yang adil? Dia menghidupkan kembali tradisi teori besar
dalam filsafat politik untuk memberi justifikasi terhadap keyakinan etis secara
rasional. Dalam hal ini dia menggunakan metode justifikasi yang diasosiasikan
dengan Sokrates, Aristoteles dan Sidgwick. Dia mengatakan bahwa pada saat kita
menjelaskan keyakinan etis kita, kita berusaha mengidentifikasikannya dengan
keyakinan yang paling mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan (Misalnya
keyakinan bahwa perbudakan itu salah). Kemudian kita menguji keyakinan tersebut
dengan menggunakan teori-teori etika yang kita kenal dan mencari kerunutan dan
kecocokan dalam pertimbangan kita secara keseluruhan. Pertimbangan ini
kadang-kadang bisa menghasilkan suatu teori yang meyakinkan. Sebaliknya,
teori-teori sering kali harus diperbaharui atau ditolak sejalan dengan tingkat
kegagalan mereka menyesuaikan diri dengan pertimbangan tersebut.
Menurut Antonius Widyarsono[25],
Rawls yakin bahwa karyanya hanya menghasilkan salah satu dari teori-teori yang
dibuat dengan proses seperti di atas itu. Tapi dia juga yakin bahwa teorinya
lebih unggul daripada teori-teori lain yang sudah kadaluwarsa. Dalam hal ini
dia terutama mengacu pada aliran yang dominan dalam filsafat politik liberal
pada saat itu, yakni utilitarianisme. Utilitarianisme merupakan teori politis
dalam liberalisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill
pada abad ke-19. Prinsip utama dalam utilitarianisme adalah memaksimalkan
kebaikan/kebahagiaan yang paling besar bagi sebanyak mungkin orang. Dalam
politik hal ini berarti memaksimalkan kesekahteraan umum, kalau perlu dengan
mengorbankan kebebsan individu. Menurut Rawls, utilitarianisme telah gagal
memberi tempat pada keyakinan umum bahwa setiap individu harus dihargai dan
tidak boleh dilanggar hak-hak asasinya demi kepentingan yang lebih besar,
termasuk demi kepentingan umum (Misalnya, utilitarianisme melarang perbudakan
bukan karena tidak adil, tapi hanya karena tidak efisien).
Berlawanan dengan utilitarianisme Rawls
mengembangkan teori keadilannya dari ide bahwa hak-hak asasi individu tidak
boleh dilanggar dengan alasan apapun. Untuk itu dia menggunakan tradisi teori
kontrak sosial-Hobbes, Locke, Rousseau dan Kant- sebagai dasar argumentasi bagi
prinsip-prinsip dasar teori keadilan. Dalam dua prinsip dasar keadilannya Rawls
berusaha mengintegrasikan kritisisme sosialis kaum Marxis (prinsip kesamaan)
kedalam teori liberal (prinsip kebebasan). Itulah sebabnya karya utama Rawls
menjadi karya yang banyak didiskusikan baik oleh kaum liberal, maupun kaum
Marxis. Menurut Kimlicka, “Teorinya mendominasi debat-debat kontemporer, bukan
karena setiap orang menerimanya, tapi karena pandangan-pandangan alternatif
sering kali diungkapkan sebagai reaksi terhadap teorinya itu”. (Kimlicka 2002:
10).[26]
Karena Rawls menggunakan tradisi teori
kontrak sosial-Hobbes, Locke, Rousseau dan Kant- sebagai dasar argumentasi bagi
prinsip-prinsip dasar teori keadilannya. Beberapa penulis memberikan sebutan
yang beragam mengenai aliran filsafat (teori) yang dianut Rawls. Beberapa
artikel dalam buku ‘A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory’[27],
misalnya Jeremy Waldron, professor University of California at Berkeley,
menyebut John Rawls sebagai exponent
modern Rousseauian approach.[28]
Alexander Somek dari University of Viena menyebut ahli yang mengenalkan ‘contractarian teories of justice.’[29]
Dan George P Fletcher, professor of Jurisfrudence at Columbia University School
of Law, New York, menyebut Rawls teori keadilan sebagai ‘the version of the Kantian Theory’.[30]
Sruputan
Penutup
Tulisan
sepeminuman kopi menjelang siang hari sembari menunggu perkuliahan ini, saya
tutup dengan beberapa catatan akhir:
Pertama, “teori keadilan”
John Rawls merupakan teori sosial politik kontemporer yang menjelaskan
prinsip-prinsip keadilan yang relatif paling lengkap dibanding dengan beberapa teori keadilan lainnya.
Kedua, Teori keadilan Rawls sangat penting untuk menjelaskan
bagaimana masyarakat yang terkait politik yang modern dan demokratis dewasa ini.
Ketiga, dalam konteks pembentukan hukum
di Indonesia, baik melalui pembentukan peraturan
Perundang-undangan maupun Putusan Hakim di
Indonesia, teori Ralws tentang keadilan penting karena dua hal: (a) prosedur pencapaian atau pencarian konsensus yang
menempatkan individu sama peluangnya dan (b)
mengakui ada ketimpangan dalam masyarakat yang harus mendapat prioritas
perhatian dalam Pembentukan Hukum.
Keempat, pelajaran berharga dari teori Ralws adalah, pembentuk hukum, baik melalui Hakim maupun Pembentuk undang-undang
harus memberikan perlindungan yang memadai bagi masyarakat minoritas yang
mempunyai akses yang kecil terhadap sumber-sumber daya dalam masyarakat.
Masyarakat minoritas, masyarakat miskin, atau
kelompok kepentingan yang lemah harus diperhatikan dan menjadi dasar
pertimbangan dalam pengambilan putusan pada saat pembentukan hukum. Tanpa itu semua esensi
Hukum untuk Manusia, Fungsi hukum untuk Ketentraman Bersama dan tujuan Hukum
Keadilan Bagi Semua (Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, Social Justice)
Padang, 15 April 2017
[1] Bur Rasuanto,
Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis
Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta : Gramedia, 2005), hlm. 25
[2]
www.bookrags.com/biography/john-rawls
[3]
http://sun3.lib.uci.edu/~scctr/philosophy/rawls.html
[4]
www.bookrags.com/biography/john-rawls
[5] "Justice
as Fairness." Journal of
Philosophy (October 24, 1957), 54(22):653-662, lihat http://sun3.lib.uci.edu/~scctr/philosophy/
rawls.html
[6]
"Justice as Fairness." Philosophical
Review (April 1958), 67(2):164-194 dalam:
http://sun3.lib.uci.edu/~scctr/philosophy/rawls.html
[7] Bur Rasuanto,
Op. Cit., hlm 25.
[8] Bur Rasuanto,
Op. Cit., hlm 26.
[9] Political Liberalism. The
John Dewey Essays in Philosophy, 4. New York : Columbia University Press, 1993.
[10] Antonius Widyarsono, Memprioritaskan Op. Cit.,Hak di Atas Konsep Keabikan dalam Pemikiran
Rawls Yang Kemudian, dalam Jurnal Pemikiran Sosial Politik, Demokrasi dan
Hak Asas Manusia Jurnal DIPONEGORO74, (Tahun VIII/2000 No. 11 Februari-Mei
2004), hlm. 43.
[11] Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, ibid.
[13] Theo Huijbers, op. cit. hlm. 195.
[14] Ibid,
hlm. 197.
[15] Rawls, A Theory of Justice,
op. cit., hlm. 21 memberi penekanan
dengan kalimat “I have amphasized that this original position
is purely hypothetical.”
[16] Theo Huijbers, op. cit., hlm. 198; Dalam Rawls dapat dibaca pada angka 24. The Veil of Ignorance, hlm. 136-142
dan angka 25. The Rationality of The
Parties, hlm. 142-150, lihat Rawls, A Theory of Justice, op. cit. Juga dalam
Theo Huijbers, op,cit, hlm 190.
[17] Theo Huijbers, Ibid, hlm. 200; Prijono, op.
cit. hlm. 38.
[18] Prijono, ibid,
hlm 40; juga Theo Huijbers, ibid, hlm
201.
[19] Bur Rasuanto,
Keadilan Sosial….Op. Cit., hlm. 27.
[20] Ibid, hlm. 28.
[21] Ketika
pertama kali buku ini diterbitkan oleh Cambridge ,
Massachusetss: Belknap Press of Harvard University Press. Kemudian pada tahun
1972 diterbitkan oleh Oxford :
Larendon Press, 1972.
[22] Misalnya
ketika Rawls menulis ‘Justice as Fairness’
dalam Journal of Philosophy
(October 24, 1957) kemudian dalam Philosophical
Review (April 1958). Lihat dalam A
Selected Bibliography Compiled by Eddie Yeghiayan, sumber:
http://sun3.lib.uci.edu/scctr/philosophy/rawls.html.
[23] Pada
pertengahan tahun enanm puluhan bahkan Isaiah Berlin secara retorik menyetakan mengenai
‘matinya teori politik’ sebagai perlawanan simbolik terhadap dominasi
positivisme dalam filsafat politik. Selanjutnta Berlin memproklamirkan peralihan politik
normatif. Dan peralihan normatif ini menemukan puncaknya pada tahun 1971 dengan
diterbitkannya A Theory of Justice
oleh John Rawls, lihat dalam Robertus Robet, Argumen dan Krtitik: Demokrasi Deliberatif Habermas, dalam Jurnal
Pemikiran Sosial Politik, Demokrasi dan Hak Asas Manusia Jurnal DIPONEGORO74,
(Tahun VIII/2000 No. 11 Februari-Mei 2004), hlm. 72.
[24] Antonius
Widyarsono, Memprioritaskan …. Op. Cit.,
hlm. 44.
[25] Ibid, hlm. 45.
[26] Ibid
[27] Dennis
Patterson (editor), A Companion to
Philosophy of Law and Legal Theory, (Blackwell Publishing, 2003).
[28] Ibid,
hlm. 19.
[29] Ibid., hlm. 352.
[30] Ibid., hlm. 527.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar